Jam'iyah Muhyidin Murobi sebagai wadah Kajian Kitab-Kitab Klasik di kelurahan Candiroto
                Syariat Keislaman dalam Perspektif Ahlussunah wal Jama'ah
Nahdlatul Ulama (NU) memandang syariat Islam sebagai pedoman hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah, yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas. Dalam memahami dan mengamalkan syariat, NU mengikuti metode fiqih Ahlussunnah wal Jama'ah yang berlandaskan pada mazhab Imam Syafi’i, salah satu dari empat imam mazhab yang diakui dalam Islam. Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara teks dan konteks, antara hukum dan kemaslahatan, serta antara norma dan budaya lokal.
Mazhab Syafi’i yang menjadi rujukan utama NU menekankan pentingnya sistematika istinbath hukum melalui pendekatan ushul fiqih yang kuat. Kitab-kitab klasik (turats) seperti Al-Umm karya Imam Syafi’i, Nihayatul Muhtaj karya Imam Ramli, Tuhfah al-Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, hingga Fathul Mu’in karya Syaikh Zainuddin al-Malibari menjadi referensi utama dalam pengambilan hukum di kalangan NU. Para ulama pesantren juga menekankan pentingnya tafaqquh fid-din (pendalaman agama) sebagai bagian dari pengamalan syariat secara kaffah.
Dalam mengimplementasikan syariat, NU tidak bersifat tekstual semata, melainkan mempertimbangkan maqashid syariah atau tujuan-tujuan luhur syariat: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hal ini tampak dalam keputusan-keputusan fiqih NU, baik melalui forum Bahtsul Masail maupun kebijakan organisasi, yang cermat menimbang aspek maslahat dan kerugian bagi umat. Misalnya dalam persoalan zakat, asuransi, dan transaksi modern, NU selalu mengedepankan pendekatan maslahat dan realitas sosial.
Ciri khas syariat Islam dalam NU adalah penerimaannya terhadap budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini sesuai dengan kaidah al-‘adah muhakkamah (kebiasaan bisa menjadi hukum), yang menjadi salah satu kaidah fiqih penting dalam mazhab Syafi’i. Oleh sebab itu, praktik-praktik seperti tahlilan, maulidan, dan selametan dipandang sebagai bagian dari ekspresi keislaman yang sah, selama dilandasi niat ibadah dan tidak melanggar prinsip-prinsip akidah maupun syariat.
Di lingkungan pesantren NU, kitab-kitab seperti Sullam at-Taufiq, Safinatun Najah, Kifayatul Akhyar, hingga I’anatuth Thalibin digunakan dalam pendidikan fiqih dasar hingga menengah. Kitab-kitab ini membentuk karakter santri yang memahami hukum syariat secara sistematis, bertahap, dan kontekstual. Pengajaran syariat tidak hanya berorientasi pada hafalan hukum, tetapi juga pada hikmah di balik hukum, sehingga melahirkan umat yang taat namun tetap bijaksana dalam kehidupan sosial.
Dengan demikian, syariat Islam bukan hanya berupa kumpulan hukum kaku, tetapi sebuah sistem nilai yang hidup, dinamis, dan berpihak pada kemaslahatan umat. Melalui pendekatan mazhab Syafi’i dan kitab-kitab mu’tabarah, NU terus menjaga kesinambungan syariat dengan tetap menjawab tantangan zaman secara arif dan proporsional.