Jalan Tasawuf Menuju Tawadhu dan Kebeningan Hati

Ajaran tasawuf dalam tradisi Nahdlatul Ulama tidak hanya bertujuan memperkuat hubungan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga membentuk kepribadian yang luhur dan penuh kasih sayang kepada sesama. Intisari tasawuf adalah menumbuhkan sikap rendah hati (tawadhu), ikhlas dalam amal, sabar dalam ujian, serta menjauhkan diri dari sifat sombong, riya’, dan cinta dunia yang berlebihan. Melalui bimbingan ulama dan kajian kitab-kitab tasawuf mu’tabarah, tasawuf menjadi jalan akhlak yang membimbing umat Islam untuk hidup dengan hati bersih, akhlak mulia, dan kesadaran spiritual yang mendalam dalam setiap aspek kehidupan.

Akhlak Keikhsanan dalam Tasawuf Nahdlatul Ulama

Dalam tradisi keilmuan Islam, ajaran agama dibagi menjadi tiga dimensi utama: Islam, Iman, dan Ihsan. Jika Islam berkaitan dengan syariat dan Iman dengan aqidah, maka akhlak merujuk pada dimensi spiritualitas atau keikhsanan. Dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU), keikhsanan ini menjadi bagian penting dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimanifestasikan dalam ilmu tasawuf. NU memandang tasawuf bukan sebagai ajaran asing, melainkan sebagai penyempurna iman dan ibadah, yang membentuk akhlak dan kedekatan hamba kepada Allah.

Tasawuf dalam pandangan NU berakar pada tradisi para ulama salaf yang menekankan pembersihan hati (tazkiyatun nafs) dan penguatan rasa muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah). Tasawuf bukan hanya dimaknai sebagai praktik wirid atau dzikir semata, tetapi sebagai jalan untuk mencapai maqam ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak mampu, yakin bahwa Allah melihat kita. NU mengembangkan tasawuf sunni yang seimbang, menghindari ekstremitas dalam ritual maupun klaim-klaim spiritual yang tidak berdasar..

Kitab-kitab rujukan dalam tasawuf NU umumnya berasal dari para ulama besar yang memiliki sanad keilmuan jelas dan kokoh. Beberapa kitab yang diajarkan secara luas di pesantren NU antara lain Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, Risalatul Qusyairiyah karya Imam Al-Qusyairi, Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, dan Tanwirul Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi. Kitab-kitab tersebut tidak hanya mengajarkan praktik spiritual, tetapi juga menyusun fondasi akhlak yang kuat, menyatukan dimensi iman dan amal dalam bingkai akhlak.

Imam Al-Ghazali, sebagai tokoh sentral dalam tasawuf Ahlussunnah, menegaskan bahwa ilmu tasawuf merupakan jalan untuk menyembuhkan penyakit hati seperti riya’, takabbur, hasad, dan ujub. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia memadukan ajaran fiqih dan tasawuf secara harmonis, sehingga para ulama NU menjadikannya sebagai rujukan utama dalam mendidik umat menuju akhlak mulia. Dalam hal ini, tasawuf bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga praktis dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Di lingkungan NU, ilmu tasawuf juga dihidupkan melalui amaliah-amaliah tradisional seperti wirid, dzikir, manaqiban, dan riyadhoh yang dibimbing oleh guru mursyid yang jelas sanadnya. Lembaga-lembaga tarekat mu’tabarah seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dan Tijaniyah berada dalam ruang yang harmonis dengan NU, selama selaras dengan aqidah Asy’ariyah dan praktik syariat yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa keikhsanan dalam NU bukan sekadar teori, tetapi sistem pendidikan ruhani yang dibangun di atas keilmuan dan bimbingan ulama.

Dengan demikian, akhlak adalah pengejawantahan tasawuf sunni yang menyatu dengan aqidah dan syariat. Melalui pengamalan tasawuf yang bersumber dari kitab-kitab mu’tabarah dan bimbingan ulama mursyid, NU mampu menjaga kemurnian spiritualitas Islam sekaligus menanamkan akhlak mulia di tengah umat. Inilah warisan keilmuan yang menjadikan NU sebagai pilar Islam moderat dan rahmatan lil ‘alamin.